Sepinya Pantai Manggar: Ketika Fasilitas Berbayar Menjadi Keluhan Pengunjung

$rows[judul]

rumahhijaurakyat.com, Balikpapan - Pantai Manggar Segarasari, salah satu destinasi wisata andalan Kota Balikpapan, kini tak lagi seramai dulu. Suara tawa anak-anak yang biasa terdengar dari bibir pantai mulai jarang terdengar. Pasir putih yang biasanya dipenuhi jejak kaki wisatawan kini lebih banyak dibiarkan kosong oleh ombak yang datang dan pergi.

Dalam beberapa pekan terakhir, jumlah kunjungan wisata ke Pantai Manggar terus menurun drastis. Bukan karena cuaca buruk atau akses yang sulit, melainkan karena keluhan dari masyarakat yang merasa bahwa pengelolaan pantai kini terlalu berorientasi pada komersialisasi.

Fasilitas yang dulunya dapat digunakan secara bebas, kini disebut-sebut semua serba berbayar. Bahkan, untuk menggunakan toilet umum, pengunjung dikabarkan harus merogoh kocek. Keluhan tersebut viral di media sosial dan menjadi bahan perbincangan di berbagai forum warga Balikpapan. Tak sedikit yang menyayangkan kebijakan itu, karena dianggap tak ramah bagi wisatawan lokal maupun keluarga kecil yang datang untuk sekadar bersantai.

Keluhan tidak hanya datang dari pengunjung, tetapi juga dari para pedagang yang sehari-hari menggantungkan hidupnya dari aktivitas wisata di pantai. Muliati, salah seorang pedagang makanan ringan di kawasan pantai, menyampaikan keluh kesahnya. Ia menyebut bahwa penurunan pengunjung berdampak langsung pada pendapatannya.

“Biasanya kalau hari Sabtu dan Minggu itu ramai, dagangan saya cepat habis. Tapi sekarang, sepi sekali. Bahkan kadang saya pulang masih bawa banyak barang,” ujarnya sambil membereskan meja jualannya yang kosong pembeli.

Muliati bukan satu-satunya yang terdampak. Sejumlah pedagang lainnya pun mengeluhkan hal serupa. Mereka merasa tidak dilibatkan dalam kebijakan pengelolaan fasilitas pantai, padahal merekalah yang paling merasakan dampaknya ketika pengunjung tidak datang.

Melihat situasi ini, Taufik Qul Rahman, Sekretaris Komisi II DPRD Kota Balikpapan, langsung turun ke lokasi untuk melakukan pengecekan lapangan pada Sabtu, 26 Juli 2026. Ia mengakui bahwa terjadi penurunan kunjungan yang cukup mencolok.

“Setelah saya lihat langsung, memang sangat terasa pengunjungnya berkurang. Saya menduga ini akibat viralnya isu soal fasilitas yang semuanya berbayar. Ini harus jadi perhatian serius,” ujar Taufik kepada wartawan.

Menurutnya, kebijakan pengelolaan destinasi wisata seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang adil dan inklusif, bukan hanya mempertimbangkan sisi keuntungan semata. Taufik menilai, jika dibiarkan, hal ini akan merugikan banyak pihak, termasuk para pelaku usaha kecil yang sangat bergantung pada keramaian wisatawan, termasuk berdampak pada pemasukan pendapatan asli daerah (PAD) yang menjadi andalan pariwisata. 

Ia pun mendesak Dinas Pariwisata Kota Balikpapan untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengelolaan Pantai Manggar. “Kita ingin pariwisata di Balikpapan maju, tapi juga harus memperhatikan kenyamanan dan aksesibilitas bagi semua kalangan,” tegasnya.

Pantai Manggar selama ini dikenal sebagai tempat rekreasi favorit warga Balikpapan dan sekitarnya. Keindahan garis pantainya, air laut yang bersih, serta suasana yang relatif tenang menjadikannya destinasi yang banyak dipilih untuk bersantai, bermain pasir, atau sekadar melepas penat.

Namun, dengan mulai merebaknya kesan bahwa setiap fasilitas di kawasan itu harus dibayar, citra pantai sebagai tempat wisata ramah keluarga perlahan mulai memudar. Tanpa langkah cepat dan kebijakan yang berpihak pada publik, Pantai Manggar bisa kehilangan pesonanya bukan karena alam, melainkan karena ulah tangan manusia sendiri. (war)

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)